SUKU GORONTALO
Provinsi Gorontalo terletak di Pulau Sulawesi bagian
utara atau di bagian barat dari Provinsi Sulawesi Utara. Luas wilayah provinsi
ini 12.435,00 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 1.097.990 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 88 jiwa/km². Wilayah
Provinsi Gorontalo yang pada zaman kolonial Belanda dikenal dengan sebutan
"Semenanjung Gorontalo" (Gorontalo Peninsula) terletak pada bagian
utara Pulau
Sulawesi, tepatnya pada 0° 19′ 00” - 1° 57′ 00” LU (Lintang Utara)
dan 121° 23′ 00” - 125° 14′ 00” BT (Bujur Timur). Provinsi
Gorontalo dihuni oleh ragam Etnis yang berbentuk Pohala'a (Keluarga),
diantaranya Pohala'a Gorontalo (Etnis Hulonthalo), Pohala'a Suwawa (Etnis
Suwawa/Tuwawa), Pohala'a Limboto (Etnis Limutu), Pohala'a Bolango (Etnis
Bulango/Bolango) dan Pohala'a Atinggola (Etnis Atinggola) yang seluruhnya
dikategorikan kedalam Suku Gorontalo atau Suku
Hulonthalo. Provinsi Gorontalo berdiri secara resmi sejak tanggal 22
Desember tahun 2000, melalui penetapan sidang paripurna DPR RI.
2. SEJARAH
GORONTALO
Menurut catatan sejarah, Jazirah Semenanjung Gorontalo
(Gorontalo Peninsula) terbentuk kurang lebih 1300 tahun lalu, dimana Kerajaan
Suwawa telah ditemukan berdiri pada sekitar tahun 700 Masehi atau pada abad
ke-8 Masehi. Hal
ini diperkuat dengan ditemukannya makam para Raja di tepian hulu sungai Bulawa.
Tidak hanya itu, makam Raja Suwawa lainnya dapat kita temukan di hulu sungai
Bone, yaitu makam Raja Moluadu (salah seorang Raja di Kerajaan Suwawa) bersama
dengan makam istrinya dan anaknya. Namun, sebagai salah satu jazirah tertua di
Sulawesi dan Nusantara, Semenanjung Gorontalo pun tidak hanya memiliki catatan
sejarah pada prasasti makam-makam Rajanya dahulu, melainkan pula memiliki situs
prasejarah yang telah ditemukan. Situs Oluhuta, merupakan sebuah situs
prasejarah dan memiliki makam prasejarah didalamnya. hal ini dapat menjadi
bukti bahwa Gorontalo telah memiliki peradaban yang sangat lampau Berdasarkan
klasifikasi adat yang dibuat oleh Mr.C.Vollenhoven, maka Semenanjung Gorontalo
termasuk kedalam 19 wilayah adat di Indonesia. Antara agama dengan adat di
Gorontalo pun menyatu dengan istilah "Adat bersendikan Syara' dan Syara'
bersendikan Kitabullah". Pohalaa Gorontalo merupakan pohalaa yang paling
menonjol di antara kelima pohalaa tersebut. Itulah sebabnya Gorontalo lebih
banyak dikenal. Asal usul nama Gorontalo terdapat berbagai pendapat dan
penjelasan antara lain :
- Berasal dari "Hulontalangio", nama salah satu kerajaan yang dipersingkat menjadi Hulontalo.
- Berasal dari "Hua Lolontalango" yang artinya orang-orang goa yang berjalan lalu lalang.
- Berasal dari "Hulontalangi" yang artinya lebih mulia.
- Berasal dari "Hulua Lo Tola" yang artinya tempat berkembangnya ikan Gabus.
- Berasal dari "Pongolatalo" atau "Puhulatalo" yang artinya tempat menunggu.
- Berasal dari Gunung Telu yang artinya tiga buah gunung.
- Berasal dari "Hunto" suatu tempat yang senantiasa digenangi air.
3. SOSIAL BUDAYA
GORONTALO
Menurut
masyarakat Gorontalo, nenek moyang mereka bernama Hulontalangi, artinya
‘seorang pengembara yang turun dari langit’. Tokoh ini berdiam di Gunung
Tilongkabila, akhirnya ia menikah dengan seorang wanita pendatang bernama
Tilopudelo yang singgah dengan perahu ke tempat itu. Perahu tersebut
berpenumpang 8 orang. Mereka inilah yang kemudian menurunkan komunitas etnis
atau suku Gorontalo. Sebutan Hulontalangi kemudian berubah menjadi Hulontalo
dan akhirnya Gorontalo. Orang Gorontalo menggunakan bahasa Gorontalo,
yang terbagi atas tiga dialek, dialek Gorontalo, dialek Bolango, dan dialek
Suwawa. Saat ini yang paling dominan adalah dialek Gorontalo.
4. AGAMA
Agama
Orang Gorontalo hampir semuanya beragama Islam (99 %). Islam masuk ke
daerah ini sekitar abad ke-16. Karena adanya kerajaan-kerajaan di masa lalu
sempat muncul kelas-kelas dalam masyarakat Gorontalo: kelas raja dan
keturunannya (wali-wali), lapisan rakyat kebanyakan (tuangolipu). Ada
kemungkinan Islam masuk ke Gorontalo sekitar tahun 1400 Masehi (abad XV), jauh
sebelum wali songo di Pulau Jawa, yaitu ditandai dengan adanya makam seorang
wali yang bernama ‘Ju Panggola’ di Kelurahan Dembe I, Kota Barat, tepatnya di
wilayah perbatasan Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo.
5. Seni & Budaya
Daerah
Gorontalo
sebagai salah satu suku yang ada di Pulau Sulawesi memiliki aneka ragam
kesenian daerah, baik tari, lagu, alat musik tradisional, adat-istiadat,
upacara keagamaan, rumah adat, dan pakaian adat. Tarian yang cukup
terkenal di daerah ini antara lain, Tari Bunga, Tari Polopalo, Tari Danadana,
Zamrah, dan Tari Langga. Sedangkan lagu-lagu daerah Gorontalo yang
cukup dikenal oleh masyarakat Gorontalo adalah Hulandalo Lipuu (Gorontalo
Tempat Kelahiranku), Ambikoko, Mayiledungga (Telah Tiba), Mokarawo (Membuat
Kerawang), Tobulalo Lo Limuto (Di Danau Limboto), dan Binde Biluhuta (Sup
Jagung). Alat musik tradisional yang dikenal di daerah Gorontalo adalah
Polopalo, Bambu, dan Gambus (berasal dari Arab).
6. Rumah Adat
6. Rumah Adat
Gorontalo
memiliki rumah adatnya sendiri, yang disebut Bandayo Pomboide dan Dulohupa.
Rumah adat ini terletak di tepat di depan Kantor Bupati Gorontalo, Jalan
Jenderal Sudirman, Limboto. Dulohupa terletak di di Kelurahan Limba U-2,
Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo. Akan tetapi, rumah adat Dulohupa yang
satu ini kini tinggal kenangan karena sudah diratakan dengan tanah. Rumah adat
ini digunakan sebagai tempat bermusyawarat kerabat kerajaan pada masa
lampau.
Pada masa
pemerintahan para raja, rumah adat ini digunakan sebagai ruang pengadilan
kerajaan, untuk memvonis para pengkhianat negara melalui sidang tiga alur
pejabat pemerintahan, yaitu Buwatulo Bala (Alur Pertahanan / Keamanan),
Buwatulo Syara (Alur Hukum Agama Islam), dan Buwatulo Adati (Alur Hukum Adat).
Bandayo Pomboide |
7. Bahasa Daerah
Orang
Gorontalo menggunakan bahasa Gorontalo, yang terbagi atas tiga dialek, dialek
Gorontalo, dialek Bolango, dan dialek Suwawa. Saat ini yang paling dominan
adalah dialek Gorontalo. Penarikan garis keturunan yang berlaku di masyarakat
Gorontalo adalah bilateral, garis ayah dan ibu. Seorang anak tidak boleh
bergurau dengan ayahnya melainkan harus berlaku taat dan sopan. Sifat hubungan
tersebut berlaku juga terhadap saudara laki-laki ayah dan ibu. Menurut
masyarakat Gorontalo, nenek moyang mereka bernama Hulontalangi, artinya
‘pengembara yang turun dari langit’. Tokoh ini berdiam di Gunung
Tilongkabila. Kemudian dia menikah dengan salah seorang perempuan
pendatang yang bernama Tilopudelo yang singgah dengan perahu ke tempat itu.
Perahu tersebut berpenumpang delapan orang. Mereka inilah yang kemudian
menurunkan orang Gorontalo, tepatnya yang menjadi cikal bakal masyarakat
keturunan Gorontalo saat ini. Sejarawan Gorontalo pun cenderung sepakat tentang
pendapat ini karena hingga saat ini ada kata bahasa Gorontalo, yakni
'Hulondalo' yang bermakna 'masyarakat, bahasa, atau wilayah Gorontalo'. Sebutan
Hulontalangi kemudian berubah menjadi Hulontalo dan akhirnya menjadi Gorontalo.
Pakaian Adat Gorontalo memiliki pakaian khas daerah sendiri baik untuk upacara
perkawinan, khitanan, baiat (pembeatan wanita), penyambutan tamu, maupun yang
lainnya. Untuk upacara perkawinan, pakaian daerah khas Gorontalo disebut Bili’u
atau Paluawala. Pakaian adat ini umumnya dikenal terdiri atas tiga
warna, yaitu ungu, kuning keemasan, dan hijau.
8. Nuansa Warna bagi
Masyarakat Gorontalo
pakaian adat perkawinan Gorontalo bili'u |
pakaian khitanan Gorontalo |
Dalam adat-istiadat Gorontalo,
setiap warna memiliki makna atau lambang tertentu. Karena itu, dalam upacara
pernikahan masyarakat Gorontalo hanya menggunakan empat warna utama, yaitu
merah, hijau, kuning emas, dan ungu. Warna merah dalam masyarakat adat
Gorontalo bermakna ‘ keberanian dan tanggung jawab; hijau bermakna
‘kesuburan, kesejahteraan, kedamaian, dan kerukunan’; kuning emas
bermakna ‘kemuliaan, kesetian, kebesaran, dan kejujuran’; sedangkan warna
ungu bermakna ‘keanggunanan dan kewibawaan’. Pada umumnya masyarakat adat
Gorontalo enggan mengenakan pakaian warna coklat karena coklat melambangkan
‘tanah’. Karena itu, bila mereka ingin mengenakan pakaian warna gelap, maka
mereka akan memilih warna hitam yang bermakna ‘keteguhan dan ketakwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa’. Warna putih bermakna ‘kesucian atau kedukaan’. Karena
itu, mayarakat Gorontalo lebih suka mengenakan warna putih bila pergi ke tempat
perkabungan atau kedukaan atau ke tempat ibadah (masjid). Biru muda sering
dikenakan pada saat peringatan 40 hari duka, sedangkan biru tua dikenakan pada
peringatan 100 hari duka. Dengan dasar pandangan terhadap warna tersebut, maka
pada hiasan untuk upacara pernikahan masyarakat Gorontalo hanya menggunakan
empat warna utama di atas (merah, hijau, kuning emas, dan ungu). Sebagaimana
disebutkan di atas, masyarakat Gorontalo memiliki pakaian khas tersendiri untuk
berbagai upacara adat baik perkawinan, pengkhitanan, pembaitan, dan penyambutan
tamu. Pakaian adat pengantin disebut Paluawala atau Bili’u. Pada waktu
akad nikah pengantin mengenakan pakaian adapt yang disebut Wolimomo dan Payungga.
Saat itu pengantin pria berada di kamar adat yang disebut Huwali Lo Humbiya.
Paluwala artinya polunete unggala’a to delemo pohla’a, yakni suatu ikatan
keluarga pada keluarga besar: Duluwo lou limo lo pohala’a Gorontalo, Limboto,
Suwawa, Bolango, dan Atinggola. Sedangkan Bili’u berasal dari kata bilowato
artinya ‘yang diangkat’, yakni sang gadis diangkat dengan memperlihatkan
ayuwa (sikap) dan popoli (tingkah laku), termasuk sifat dan
pembawaanya di lingkungan keluarga. Pakaian ini dipakai pada waktu pengantin
duduk bersanding di pelaminan yang disebuat pu’ade atau tempat pelaminan.
Kemudian pengantin mengenakan pakaian Madipungu dan Payunga Tilambi'o,
yaitu pakaian pengantin wanita tanpa Bayalo Bo”Ute atau hiasan kepala, cukup
pakai konde dengan hiasan sunthi dan pria memakai Payunga Tilambi’o. Yang
terakhir sang pengantin mengenakan Pasangan dan Payunga Tilambi’o, yaitu
pakaian pengantin wanita dengan tiga perempat tangannya dipakai acara resepsi,
di mana pengantin wanita bebas bersuka ria dengan sahabat–sahabat sebaya
sebagai penutup acara masa remajanya. Dalam adat perkawinan Gorontalo
sebelum hari H dilaksanakan acara “Dutu“, di mana kerabat pengantin
pria akan mengantarkan harta dengan membawakan buah–buahan, seperti buah jeruk,
nangka, nenas, dan tebu. Setiap buah yang dibawa juga punya makna
tersendiri, misalnya buah jeruk bermakna bahwa ‘pengantin harus merendahkan
diri’, duri jeruk bermakna bahwa ‘pengantin harus menjaga diri’, dan rasanya
yang manis bermakna bahwa ‘pengantin harus menjaga tata kerama atau bersifat
manis supaya disukai orang. Nenas, durinya juga bermakna bahwa pengantin
harus menjaga diri, dan begitu pula rasanya yang manis. Nangka dalam bahasa
Gorontalo Langge lo olooto, yang berbau harum dan berwarna kuning emas mempunyai
arti bahwa pengantin tersebut harus memiliki sifat penyayang dan penebar
keharuman. Tebu warna kuning bermakna bahwa pengantin harus menjadi orang yang
disukai dan teguh dalam pendirian.
Sumber :
Sumber :
Komentar
Posting Komentar